Belajar informal
Apakah pembelajaran memang sudah berganti rupa? Masih bisakah kita menyuntikkan kegiatan belajar dengan cara konvensional? Matthias Malessa, Chief Human Resources Officer Adidas, merasa pembelajaran di dalam kelas sudah tidak lagi berdampak signifikan. Ia mencari cara, bagaimana pembelajaran dapat menjadi “light, desirable, dan fun.” Matthias percaya, bahwa mengalami sendiri, melakukan kesalahan, adalah cara pembelajaran yang paling efektif. Mereka percaya bahwa 80% pembelajaran terjadi secara informal. “Corporate University’ terasa menjadi tempat belajar yang sempit untuk mengakomodir karyawan yang ingin belajar dengan santai. Itulah sebabnya Adidas, mencari cara agar belajar bisa terjadi sepanjang hari, 24/7. Bahan pembelajaran diperluas menjadi bacaan koran, video, internet, quiz-quiz, termasuk ‘sharing’ untuk mengakses sumber sumber eksternal seperti TED, You tube, blog-blog. Mereka mengikuti prinsip : MOOC’s (Massive Open Online Courses). Para karyawan yang dibesarkan oleh You Tube, Pinterest dan Instagram ini perlu dirangsang pembelajarannya melalui media media ini pula. Agenda pembelajaran menjadi agenda setiap orang dalam organisasi, tidak terkecuali para pemimpin. Pemimpinlah yang menjadi komandan dan provokator pembelajaran. Hal ini juga dilakukan oleh sebuah perusahaan kosmetik lokal di negara kita, di mana pemilik, suami-istri, anak-mantu, semua percaya bahwa belajar bisa di mana saja, kapan saja, dari siapa saja, dan dengan media apa saja. Organisasi perlu mencari cara pembelajaran yang ‘self driven’ dan ‘sexy’ bagi karyawannya, menjadikan inovasi sebagai ‘way of thinking’ sehari-hari di lingkungan pekerjaannya. Pemimpin yang menganggap pembelajaran adalan kegiatan pra atau pasca, ataupun di samping kegiatan utama, akan mengalami perlambatan yang signifikan di organisasinya.
Quantum Leap Pembelajaran
Kegiatan pembelajaran perlu didesain secara seksama, dengan tujuan dan ‘dashboard’ alias parameter pengukuran keberhasilan yang jelas. Menurut para pimpinan Adidas, “Kita paling tidak, perlu melakukan ‘quantum leap” sebanyak 10 kali lipat, dan mencetak laba 10 kali lipat lebih besar. Tidak lagi mengharapkan pertumbuhan mainstream 10 % saja secara biasa”. Mengapa harus demikian? Kenyataannya dengan lompatan 10 kali lipat, kita meninggalkan kompetitor. Karyawanpun menjadi lebih ambisius, dan ingin menginspirasi satu sama lain. Atmosfir seperti ini pastinya akan menarik dan individu yang suka tantangan, rajin belajar dan gemar berpikir untuk bergabung dengan perusahaan pembelajar ini. Budaya inovasi akan terwujud nyata dalam organisasi, tidak hanya menjadi kutipan manis yang tergantung pada plakat budaya perusahaan semata. Dan di sini, pemimpin tidak memiliki pilihan lain selain berpikir ‘why not?’