Empat penyebab sekolah menjadi mandek tidak berkembang

BvCACd4IAAEWEQwPerubahan adalah hak setiap sekolah yang ingin berkembang. Tanpa perubahan maka sekolah akan jalan ditempat dan akan ditinggalkan oleh orang tua siswa. Namun jangan terkejut apabila ada sekolah yang inginnya langsung jadi sekolah yang besar tanpa mau berubah dan menjalani proses. Mungkin sekolah tersebut mau berkembang, hanya saja kalau boleh memilih, mereka ingin perubahannya yang murah, simpel dan langsung bisa berdampak besar bagi organisasinya serta sedikit saja tanpa mesti melibatkan orang lain.

Padahal kita semua tahu betapa berbahayanya keengganan akan perubahan, dengan kata lain sekolah masuk ke zona nyaman. Jika ada organisasi yang inginnya berubah namun jika dibiarkan memilih mereka inginnya tidak mau jauh-jauh dari zona nyaman, maka berarti siap-siap saja sekolah itu akan terasa hambar dan tanpa greget. Kegiatannya rutinitas semata, hanya melaksanakan yang sudah-sudah, itupun kalau biayanya ada, angka keluar masuk (turn over) gurunya tinggi dan muridnya pun makin lama makin sedikit.

Mengapa ada sekolah yang ‘memilih’ untuk jalan ditempat dan tidak mau berkembang? Ada beberapa hal penyebabnya.

  1. Sekolah tidak mengetahui pasti kemana ‘arah’ mereka sebagai sebuah organisasi pembelajar.

Visi dan misi sekolah mungkin ada, karena sudah merupakan kewajiban dari dinas pendidikan untuk sebuah sekolah mengadakan visi dan misi. Sayangnya sekolah hanya sibuk dengan urusan dari rutin ke rutin. Dari ujian nasional ke ujian nasional berikutnya. Jika ditanya apa perbedaan murid di sekolahnya dengan murid sekolah lain, tidak ada yang bisa menjawab pertanyaan tersebut. Jika ditanya apa perbedaan hasil lulusan antara sekolah itu dengan sekolah lainnya maka jawabannya hanya semata persoalan nilai yang dicapai. Padahal masa depan siswa bukan hanya ditentukan dari nilai tetapi juga oleh karakter dan penguasaan keterampilan hidup yang penting sebagai bekal di masa depan. Jadi untuk tipe sekolah seperti ini, yang penting satu tahun ajaran bisa lewat dengan sukses dilalui tidak masalah jika tanpa inovasi. Menyedihkan bukan? Karena alih-alih melakukan perubahan, berjalan kemana arahnya pun sekolah ini tidak tahu.

 

  1. Pengelolaan keuangan yang tidak tepat sasaran.

Jangan malu mengakui bahwa sekolah swasta menggunakan prinsip bisnis. Prinsip bisnis diperlukan karena demi tumbuh berkembangnya sekolah itu sendiri secara sehat sebagai lembaga pendidikan formal yang siap dijadikan tempat kepercayaan bagi banyak keluarga-keluarga yang tinggal berada di sekolah itu untuk menyekolahkan putra-putrinya. Bayangkan jika sekolah disubsidi terus menerus, atau tetap berjalan apa adanya dan dibiarkan merugi dan tidak bisa mandiri. Sayangnya karena terlalu khawatir merugi atau akan tutup, banyak sekolah yang terlalu cepat berniat mengambil keuntungan atau terlalu cepat melakukan ekspansi alias pengembangan tanpa mengukuhkan dahulu ‘pondasi’ di dalamnya. Bagi semua yang gunakan prinsip bisnis dengan ‘saklek’ atau dengan hitam putih . Praktek yang dilakukan oleh guru-guru di kelas adalah sebuah pemborosan dalam arti yang sebenar-benarnya. Sehari saja bersama dengan guru-guru di kelas, akan membuat seorang yang berasal dari kalangan pebisnis akan heran karena banyak sekali hal yang akan dianggap sebagai pemborosan. Misalnya kertas yang begitu saja dipakai berlembar-lembar hanya untuk siswa latihan menulis sampai kertas tisu berlembar-lembar yang diperlukan untuk mengelap hidung siswa yang sedang sakit pilek di kelas. Hal-hal yang saya contohkan adalah contoh kecil hal yang mungkin saja dianggap pemborosan namun diperlukan karena sesuai dengan konteks sekolah yang menjadi wadah bagi anak didik untuk berkembang. Dalam banyak kasus sekolah memaksa guru untuk berhemat atau bahkan mempersulit proses permintaan sumber belajar yang sebenarnya sudah menjadi hak siswa, dengan harapan guru yang meminta akan bosan dan malas untuk meminta lagi. Sekolah yang seperti ini akan sulit untuk menerima perubahan karena perubahan selalu dianggap memboroskan biaya dan mengurangi keuntungan sekolah.

  1. Kepemimpinan yang lemah.

Kepemimpinan yang lemah akan membuat sekolah jalan ditempat. Uniknya sebenarnya para pemimpin yang menurut kita punya kepemimpinan yang tidak efektif sebenarnya tahu bahwa cara memimpinnya tidak efektif. Hanya saja rutinitaslah yang membuat seorang pemimpin menjadi kebal terhadap complain dan memilih begitu-begitu saja dalam mengelola sekolahnya. Ada pemimpin sekolah yang katakan, ‘saya ini sudah kebal sama complain dan makian dari orang tua siswa”. Saya pun demikian, saya memilih untuk kebal, namun kebal tanpa mau mencari solusi sama saja membiarkan orang lain menganggap kita ‘bebal’ alias tidak punya perasaan atau cuek terhadap kritik dan umpan balik dari orang lain. Pemimpin tipe seperti ini tidak bisa disalahkan juga, karena sebagai orang dewasa siapa yang tidak mau perubahan dan perbaikan. Namun pilihan berikutnya apakah ia mau memperjuangkan atau memilih untuk tiarap bermain aman atau yang penting ‘yayasan’ atau bos senang.

  1. Guru yang tidak punya motivasi

Ada banyak sebab mengapa guru menjadi sosok yang tidak punya motivasi. Padahal menjadi pendidik mesti punya rasa antusias terhadap semua hal yang menyangkut bidangnya. Guru yang tahunya menjadi guru hanya menjadi pengajar saja mungkin tidak begitu diperlukan lagi di jaman ini. Sekolah yang ingin perubahan akan terbentur oleh sosok guru yang enggan perubahan. Sebab utama bukan masalah kesejahteraan, karena saya juga menjumpai guru yang mengajarnya biasa-biasa saja padahal kesejahteraannya sudah baik bila dibandingkan dengan sesama rekan seprofesi. Guru adalah aktor utama dari semua perubahan yang akan dan sedang terjadi di sekolah. Menyertakan guru adalah langkah terbaik dalam mengubah sebuah sekolah. Jika ingin cepat, melalui yayasan atau kepala sekolah bisa saja meminta dan menyuruh gurunya ini dan itu dan ujung-ujungnya akan frustasi juga karena lambannya guru bergerak. Membuat guru termotivasi pun tidak mudah, perlu langkah dan cara dalam membuat guru merasa bahwa perubahan demi anak didik adalah suatu keharusan.

Ketiga hal diatas sebenarnya hanyalah gambaran kecil dari situasi yang terjadi di sekolah. Kabar baiknya adalah tidak ada yang tidak mungkin, jika sekolah sebagai sebuah organisasi pembelajar ingin perubahan demi perkembangan pasti ada jalan. Di tulisan berikutnya akan saya bahas cara mendampingi sekolah agar bisa maju dan bisa memenuhi harapan para ‘stake holder’.

Refleksi setahun menjadi kepala sekolah

BrqA-UkCQAAWvnBMenjadi kepala sekolah merupakan sebuah tantangan yang tidak semua guru inginkan. Banyak guru yang lebih merasa nyaman menjadi guru dengan segala pertimbangannya. Saya baru berniat mengarahkan jenjang karir saya sebagai kepala sekolah ketika usia karir saya ada di angka sepuluh tahun. Setelah saya pikir bekal saya cukup sebagai seorang guru. Saya punya moto dalam berkarir sebagai pendidik adalah ‘learning and sharing’ atau belajar dan berbagi, yang saya bayangkan jika bisa berkarier sebagai kepala sekolah aspek ‘sharing’ atau berbagi bisa semakin mengemuka karena ada guru yang langsung berada dibawah kendali saya sebagai kepala sekolah. Ternyata sebagai kepala sekolah ada hal lagi yang mesti ditambahkan yaitu aspek kepemimpinan, jadi setelah satu tahun menjabat sebagai kepala sekolah saya tambahkan satu lagi kata ‘leading’ menjadi ‘leading, learning and sharing’ atau memimpin, belajar dan berbagi. Dalam memimpin diperlukan sebuah prioritas, dengan pertimbangan jika semua yang menjadi prioritas sudah diselesaikan maka energy bisa digunakan untuk yang lain dalam kaitannya dengan inovasi yang diperlukan untuk mengembangkan sebuah sekolah yang sehat dan efektif. Saya memilih menegakkan sistem dahulu di tahun pertama. Jika anda ingin tahu apa rasanya menjadi guru kemudian ada di posisi kepala sekolah yang memimpin dan membawahi sekian banyak guru maka seperti inilah refleksi saya, semoga berguna bagi anda yang membaca.

Pentingnya mempunyai action plan

Bt2HPuQIQAEObvpSaat pertama kali mengenali ‘medan’ seorang guru yang menjadi kepala sekolah ada ‘diatas’ dalam arti yang kiasan dan sebenarnya. Diatas dalam arti kiasan ia mesti memandang semua hal tidak dari sudut pandang yang satu arah dengan demikian ia mesti punya cara pandang yang beragam terhadap satu masalah. Dalam arti sebenarnya seorang kepala sekolah mesti siap dicurhati apa saja oleh orang tua siswa, pemilik sekolah dan guru mengenai apa saja yang menjadi kepedulian dan masalah yang mereka miliki terhadap sekolah yang saya pimpin.

Salah satu tugas berat seorang pemimpin adalah melakukan kontak yang sifatnya bermakna atau ‘engagement’ pada tiap elemen komunitas di sekolah, dari guru sampai penjaga kantin, dari wakil kepala sekolah sampai supir jemputan, dan dari orang tua siswa sampai petugas keamanan. Semuanya punya masukan yang berharga demi kemajuan sekolah. Saya mencoba menampung dan menyaring semuanya dan membuatnya jadi action plan.

Sebuah action plan sangat penting agar semua keluhan dan masalah serta tantangan ke depan sebagai pemimpin sekolah tidak menuntut penyelesaian dari satu orang saja yaitu kepala sekolah. Sebuah action plan memungkinkan pembagian tugas dan sekaligus bernuansa solutif dengan budget atau anggaran yang terukur sehingga kepala sekolah jadi tahu apa yang ia mesti kerjakan dan kenapa penting masalah tersebut untuk dikerjakan, termasuk soal pembiayaannya dan siapa yang bisa didelegasikan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Sebuah action plan bisa juga menjadi ukuran dari keberhasilan seorang kepala sekolah, serta guru dalam penilaian di akhir tahun ajaran. Dengan demikian seorang kepala sekolah tidak lagi dinilai berdasarkan omongan orang lain atau perasaan orang lain yang bekerja dengannya karena sifatnya sangat subyektif namun dinilai dengan ukuran-ukuran yang jelas diatas kertas yang bahkan sudah dibuat setahun sebelumnya.

Pentingnya mendelegasikan tugas

Kemampuan mendelegasikan tugas sangat membantu seorang pemimpin. Tanpa kemampuan mendelegasikan tugas seorang pemimpin hanya akan menjadikan orang yang dipimpinnya sebagai penonton dan akan gagal menciptakan pemimpin yang baru. Saya memulainya dengan membuat kembali struktur organisasi di sekolah tempat saya memimpin dan saat yang sama mengangkat orang yang cocok untuk menempati jabatan, saya menyebutnya sebagai koordinator.

Proses ini punya banyak konsekuensi misalnya mereka yang menjabat mesti juga mendapatkan uang tunjangan selain gaji dan yang paling penting job des yang jelas sehingga mereka tahu batasan tugas serta hal apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Job description yang jelas saya upload di portal yang bisa diakses oleh siapa saja yang ada di sekolah. Pemuatan job description di portal bermakna bahwa setiap orang diawasi oleh orang lainnya dan semua jabatan mesti siap untuk menunaikan tugas sesuai dengan deskripsi pekerjaannya. Hal yang menarik adalah orang yang mengawasi tidak hanya atasan namun juga sesama rekan. Saat memilih siapa orang yang cocok pun tidak boleh asal pilih, saya memberlakukan system lelang terbuka artinya siapa saja yang masuk criteria boleh mendaftar dan bisa menempati posisi. Tentunya didahului dengan seleksi surat lamaran dan wawancara. Semuanya berlangsung internal di sekolah. Kepala sekolah boleh saja mempunyai kandidat kuat yang diinginkan dan system lelang ini akan membuktikan orang yang punya potensi saja (lama ataupun baru) yang akan menempati posisi.

Dengan system ini diharapkan kepala sekolah akan punya individu yang dengan sigap membantunya mewujudkan apa yang menjadi visi misi dari sekolah. Mengapa saya menyegerakan untuk menciptakan middle management? Hal ini tidak lain tidak bukan karena sebuah sekolah perlu menciptakan pemimpin-pemimpin. Kepala sekolah mungkin dipilih karena ia mampu dan berpengalaman namun jika semua hal ia kerjakan sendiri maka sekolah akan bertumpu pada satu orang dan hanya menempatkan satu orang untuk berpikir dan tidak memaksimalkan potensi yang ada di sekolah untuk bisa berprestasi, urun rembuk dan menunjukkan potensi terbaiknya.

Pentingnya kemitraan antara kepala sekolah, dinas pendidikan, orang tua siswa, pemilik sekolah dan guru

Saya sengaja memilih kata kemitraan dengan menyitir peribahasa dari Afrika ‘It takes a village to educate a child’. Sebuah peribahasa yang berarti sangat dalam karena bermakna kemitraan yang penting untuk dijalankan antara rumah dan sekolah. Di sekolah swasta faktor pemilik sekolah sangatlah penting, karena kemitraan kepala sekolah dengan pemilik sekolah akan membawa kemajuan bersama. Lembaga sekolah seperti yang sudah menjadi peraturan pemerintah lewat dinas pendidikan yang mengatakan hanya boleh dikelola oleh yayasan, yang berarti mesti siap mengesampingkan semangat mencari keuntungan di awal-awal pengelolaan sekolah, jika pun ada akan kembali lagi pada sekolah tersebut dalam bentuk pelayanan yang semakin hari semakin prima kepada siswanya, dalam bentuk fasilitas dan tenaga pengajar yang professional dan mendidik dengan hati.

Sebenarnya gampang jika sekolah ingin segera raih keuntungan dalam waktu cepat untuk tujuan yang positif seperti kalimat saya sebelumnya, sekolah cukup jadi lembaga yang amanah dan terampil serta profesional dalam berkomunikasi serta mau mendengar maka orang tua siswa akan puas dengan layanan sekolah sebagai lembaga pendidikan. Menariknya tantangan terbesar saya sebagai kepala sekolah adalah anggapan bahwa saya terlalu membela pemilik sekolah oleh orang tua siswa, sebaliknya oleh pemilik sekolah saya dianggap terlalu membela orang tua siswa.

Selama berkarir sebagai guru saya mengalami berada di sekolah yang cukup melalui masa penuh complain orang tua siswa, di awal 7 tahun pertama umur sekolah, di tahun berikutnya ketika orang tua siswa sudah percaya maka antrian untuk masuk setiap tahunnya sudah mengular. Itu terjadi karena sekolah mau mendengar, belajar dari kegagalan, mau berinvestasi dalam hal pelayanan, mau memberi lebih dan melayani setiap masukan orang tua siswa dengan sabar dan mendahulukan solusi. Intinya sekolah selalu bersemangat jika diminta untuk berubah, dengan tetap berusaha meyakinkan semua aktor perubahan tentu, utamanya adalah guru sebagai ujung tombak layanan sekolah kepada murid-murid.

Orang tua siswa yang puas akan layanan sekolah akan lebih banyak diam dan bersedia untuk dimintakan bantuan apa saja. Namun lain ceritanya jika orang tua siswa tidak merasa puas. Hal yang saya alami selama setahun saya menjadi kepala sekolah adalah ketidak puasan muncul dari rasa tidak percaya dan erat hubungannya dengan apa yang sudah dibayarkan dengan hasil atau mutu yang mereka terima sebagai orang tua siswa yang sudah mempercayakan pendidikan putra putrinya. Memang hal tersebut bisa saja terjadi oleh kasus yang terjadi sebelum saya menjabat, namun menjadi tugas saya untuk menyelesaikan dan memungut lagi rasa percaya orang tua siswa satu persatu, baik dari orang tua siswa yang lama dan yang baru. Untuk itu di tahun berikutnya saya sudah siap dengan memulai inisiatif pembentukan lembaga yang bernama Dewan Sekolah atau ‘school board’. Dengan adanya wadah tadi kepala sekolah terhindar dari mengurusi hal-hal kecil yang menyebabkan energy habis terhisap untuk hal-hal diluar urusan inovasi untuk menjadi sekolah yang efektif

Pentingnya aspek komunikasi dengan menggunakan teknologi

Komunikasi di sekolah yang efektif melibatkan niat baik dari semua pihak. Niat baik berarti berprasangka baik. Sebuah prasangka baik apalagi yang timbul di level pimpinan akan berdampak pada kepercayaan bawahan bahwa ia dipercaya dan bukan dicurigai. Sebuah sekolah adalah lembaga pendidikan, yang acuannya adalah hal-hal yang tidak akan dilakukan oleh seorang guru pada muridnya juga tidak akan dilakukan oleh kepala sekolah kepada guru-gurunya.

Selama setahun menjabat saya merasakan penting sekali memberikan rasa percaya lewat komunikasi yang efektif yang tercermin lewat atmosfir dunia kerja yang positif. Alat komunikasi seperti email internal serta portal lewat internet saya berusaha wujudkan dengan bantuan yayasan untuk menjadikan aspek komunikasi ini bisa menjadi tulang punggung atmosfir sekolah yang positif. Email internal berfungsi untuk menegakkan aspek komunikasi karena email bisa dijadikan bukti bahwa sebuah komunikasi telah terjadi (hal ini dikarenakan semuanya tercatat waktunya). Email juga akan membuat unsur ‘ewuh pakewuh’ atau perasaan tidak enak untuk menyampaikan sesuatu menjadi hilang dikarenakan sifatnya yang pribadi dan tidak semua orang bisa membaca jika email tidak ditujukan padanya. Salah satu kelemahan informasi lisan adalah orang bisa lupa dan terlewat, email yang dibuka dengan rutin akan membuat komunikasi menjadi lancar dan segala urusan menjadi lebih mudah.

Di tahun ajaran ini orang tua siswa akan diberikan alamat email guru yang mengajar anaknya. Sehingga bisa berkomunikasi dengan lancar dan professional mengenai perkembangan anaknya. Sekolah juga akan mengirimkan berita atau newsletter sekolah dalam format PDF kepada orang tua siswa, sehingga tidak perlu lagi mencetak kertas. Sementara portal berfungsi sebagai ‘knowledge management’ yang didalamnya semua guru akan diminta untuk menyimpan RPP atau lesson plan setiap minggunya. Dengan demikian mudah bagi sekolah menyiapkan guru dan materi pengganti jika ada guru yang tidak masuk karena semua materi sudah diupload oleh guru yang bersangkutan di portal.

Bayangkan jika kebiasaan yang baik ini bisa dilakukan dalam satu tahun ajaran, guru akan punya history of teaching yang berarti di tahun berikutnya ia cukup mengulang dan melakukan modifikasi cara mengajarnya dari yang pernah ia lakukan sebelumnya. Kepala sekolah pun mudah melakukan control kepada guru, tanpa harus meminta ia cukup mengecek ke portal apakah guru sudah mengupload dokumen pembelajarannya. Portal juga bisa dibuat untuk menyimpan notulen rapat sampai hasil presentasi dari konferensi atau seminar yang guru hadiri. Sehingga setiap orang selalu punya cara untuk melihat hasil rapat untuk kemudian dijadikan bahan informasi pengambilan keputusan selanjutnya. Untuk itu rasa terima kasih saya yang besar pada staff IT di sekolah saya yaitu Rizal yang sudah banyak membantu mengorganisasikan semua yang berkenaan dengan IT . Dengan adanya sistem knowledge management ini maka setiap akhir tahun ajaran bukan hal yang merepotkan lagi, karena semua terdokumentasi dan jika ada guru yang keluar pun semua peninggalan intelektualitasnya sudah ada di portal dan mudah bagi guru baru untuk menyesuaikan diri.

Setahun ajaran yang menantang

Sebagai penutup tulisan ini jika seorang pemimpin sekolah melaksanakan tugasnya dengan baik, ternyata setahun ajaran itu berlangsung tidak terlalu lama. Selama setahun yang saya kedepankan adalah membangun sistem karena ketika sistem sudah terbangun sekolah tidak perlu lagi pusing mencari biaya untuk membeli pasir dan semen alias membangun, orang tua yang sudah percaya akan ikut membiayai lewat berbondong-bondongnya mereka merekomendasikan agar sanak saudara handai taulan menyekolahkan putra putrinya di sekolah kita. Jadi mohon doanya untuk tahun saya yang kedua sebagai ‘lead learner’ alias pemimpinnya para pembelajar

%d blogger menyukai ini: