Tahun ini adalah tahun ke empat belas saya berkarir sebagai pendidik. Sebuah angka yang cukup panjang sebagai seorang profesional dalam bidang pendidikan. Di sela kesibukan saya mengajar saya melakukan praktek yang disebut sebagai Plan, do and reflect (merencanakan, melakukan dan berefleksi atas praktek yang sudah dijalankan). Saya melakukan refleksi dengan blog (www.gurukreatif.wordpress.com) . Blog membuat saya bisa bertemu dan berinteraksi dengan banyak pendidik dari seluruh Indonesia di dunia maya. Mereka adalah saudara saya sesama guru yang ada di seluruh Indonesia yang berkat bantuan google sampailah di blog saya dan bisa membaca tulisan-tulisan saya . Banyak dari rekan pendidik itu yang berasal dari luar kota besar atau daerah terpencil yang mungkin hanya bertemu internet sekali-sekali . Di blog, saya banyak menulis dan memberikan motivasi serta strategi pembelajaran, sering saya ditanya oleh pembaca mengenai keadaan yang mereka alami. Kira-kira begini pertanyaan mereka, “bagaimana melaksanakan tips kreatif yang bapak katakan di daerah yang tidak ada listrik?”. Atau “bagaimana melakukan strategi pembelajaran di daerah yang siswa SMP saja, belum pandai membaca.” Sampai “bagaimana membangkitkan motivasi anak dan orang tuanya agar sadar artinya pendidikan?”
Pertanyaan di atas terus terang membuat saya bermimpi bisa hadir suatu saat di tengah situasi tersebut, bahkan bisa berinteraksi dengan guru guru yang mengajar di daerah yang menantang dari segi kondisi sosial dan geografis. Maklum saya ini guru yang mengajar di kota besar, dimana semua ada dan tersedia. Walaupun banyak yang bilang bahwa masalah pendidikan dimana-mana sama saja, tidak lebih tidak kurang berkisar antara mutu guru atau motivasi siswa. Namun tetap keinginan saya untuk bisa berinteraksi dengan sesama rekan pengajar di daerah tertinggal makin lama makin menguat. Semuanya demi pengalaman riil lapangan yang membuat saya semakin bisa berempati dan merasakan apa yang guru-guru tersebut rasakan. Sehingga pada gilirannya semua yang saya tulis di blog semakin bisa bermanfaat untuk sesama pendidik di seluruh Indonesia yang saya cintai
Sampai di awal bulan Juni 2014 saya mendapat undangan dari Dikti (Dirjen Pendidikan Tinggi) untuk datang ke Malinau sebuah kabupaten di propinsi Kalimantan Utara yang baru lahir dan siap diresmikan. Undangan tersebut untuk ikut serta dalam Publikasi Dikti yang bertujuan merekam perjalanan program ini sejak pertama kami digulirkan dari 2011. Dari Aceh sampai Papua, Dikti dalam rangka merekam jejak program ini mengirim tim-tim kecil yang berangkat secara bersamaan. Tim kecilnya terdiri dari penulis, photographer dan utusan dari Dikti. Bersama saya menuju Malinau ada Yopi Pieter Gonzales seorang photographer dan Lalang Laksono seorang pegawai di Dikti.
Melalui perjalanan udara Jakarta menuju Tarakan yang dilanjutkan dengan perjalanan air menuju Malinau sampailah saya di desa Paking. Jangan bayangkan jarak desa Paking ke Malinau hanya berjarak sepelemparan batu. Untuk menuju Desa Paking saya mesti memilih jalan darat yang membelah bukit atau jalan sungai, kedunya sama-sama memakan waktu. Di Malinau kedatangan saya disambut oleh guru yang tergabung dalam program SM3T yang mengajar di Malinau dan sekitarnya. Mereka adalah Reka, Jamil, Ajie dan Agus , mereka pula yang mengantar saya sampai ke Desa Paking untuk bertemu dengan Hafida, Wulan, Ninda dan Didit, mereka semua ditempatkan di SMP Paking Mentarang. Saat pembekalan sebelum berangkat di Jakarta saya banyak mendapatkan informasi mengenai bagaiamana pentingnya program ini bagi keberlangsungan pendidikan di daerah yang tertinggal. Saya pun diberi keterangan mengenai siapa saja individu yang lulus seleksi untuk mengikuti program ini. Saat saya bertemu langsung dengan para peserta SM3T secara langsung, terasalah aura pengabdian yang mereka miliki.
Anak-anak muda yang saya sebutkan diatas tadi sangat trengginas dan penuh ide serta banyak inovasi yang sudah mereka lakukan untuk daerah penempatan masing-masing. Saya saja yang sudah melalui belasan tahun berkarir sebagai pendidik perlu banyak belajar kembali soal semangat dan keinginan untuk berbagi kepada sesama seperti yang sudah mereka tunjukkan. Setiap zaman memang berbeda tantangannya, namun di daerah penempatan mereka masing-masing mereka ikhlas dan rela untuk menghadapi tantangan yang itu-itu saja sejak negara ini merdeka. Kurangnya infrastruktur, pembangunan yang tidak merata, mental masyarakat yang masih belum menempatkan pendidikan sebagai prioritas sampai mutu guru, semua mesti mereka hadapi secara bersamaan.
Semua sarjana mengajar yang ada di desa Paking Malinau memang berasal dari Pulau Jawa. Sekali lagi satu hal besar lagi yang dihadapi oleh mereka di daerah penempatan yaitu masalah perbedaan karakter masyarakat dan adat istiadat. Saat saya kunjungi hampir genap setahun mereka ditempatkan dan saya melihat usaha yang keras dari semua sarjana tersebut untuk menempatkan diri dan membuat semua orang dan lapisan sebagai teman atau mitra mereka dalam menaikkan standar pendidikan agar menjadi lebih baik. Sebagai anak muda jika kurang sabar bisa saja mereka akan jadi bagian dari masalah dan bukan jadi bagian dari solusi, untuk itulah rasa sebagai bagian dari bangsa Indonesia dan rasa bahwa semua orang, sekecil apapun mesti berkontribusi bagi kemajuan bangsa lah yang membuat mereka kuat dan sabar dalam menhadapi segala tantangan alam, adat istiadat dan sosial budaya.
Tinggal dan mengalami pengalaman bersama para guru yang mengajar di desa Paking membuat saya bisa mengambil kesimpulan beberapa hal.
1. Guru- guru muda yang tergabung dalam program SM3T benar benar terjun langsung membantu ketiadaan guru. Saat yang sama mereka masuk kedalam struktur sosial desa yang berarti mesti siap berperan sebagai intelektual yang dimintakan pendapat atau akan selalu dilihat perilakunya sebagai role model oleh masyarakat di desa yang mereka tempati.Hal ini sangat tidak mudah mengingat mereka pasti tidak sempurna juga sebagai individu namun karena persiapan yang cukup sebelum diberangkatkan, saya lihat dan amati mereka cukup kuat bertahan.
2. Jika ada guru dari program SM3T yang ditempatkan di kota yang hampir mirip seperti di pulau Jawa (dalam arti fasilitasnya agak lengkap) mereka berperan dalam menularkan teknik pembelajaran, profesionalisme guru atau pedagogi dalam mendidik dan mengelola murid-murid kepada sesama guru. Saya bahagia sekali ketika mendengar bahwa mereka memberi contoh dari hal yang kecil, misalnya dengan masuk tepat waktu ke kelas dan berada di kelas selama jam pelajaran dan tidak memberi tugas kepada murid lalu duduk duduk di ruang guru. Sebuah kenyataan yang menurut saya masih banyak berlangsung dalam praktek pendidikan di Indonesia.
3. Peserta program SM3T sangat tertantang dengan kondisi sosial masyarakat yang tidak punya konsep belajar secara formal. Bahkan guru-guru setempat nya pun belum punya konsep jelas mengenai dalam memaknai konsep ‘sekolah’ formal. Terbukti dengan banyak anak-anak yang sudah cukup usianya namun belum bisa membaca. Sebuah hal yang pastinya bagi anak anak muda peserta SM3T yang masih sangat energik dan idealis akan menimbulkan pertanyaan dan tantangan. Ada banyak inovasi yang sudah saya dengar dalam kunjungan yang singkat saya yaitu usaha para sarjana mengajar untuk melakukan pendekatan pada orang tua siswa dan ikut serta dalam semua aktivitas kampung dan desa yang tujuannya tidak lain tidak bukan untuk membuat kedekatan emosional sehingga gampang mengajak anak-anak desa itu untuk belajar.
4. Keberadaan guru peserta program SM3T selain menambah jumlah guru juga memotivasi guru yang lain agar mau melakukan hal hal diluar kebiasaan atau rutinitas yang selama ini sudah terjadi. Guru di sekolah yang ditempati menjadi mau membuka diri. Dengan demikian ada sedikit keterbukaan dan membawa suasana yang berbeda. Misalnya lewat event event lomba akademis dan non akademis yang diadakan oleh guru-guru peserta SM3T. Event –event yang diadakan bukan hanya sekedar untuk menguji kemampuan akademis , namun diupayakan juga menyemarakan suasana sekolah, agar siswa merasa bahwa belajar itu bukan hanya soal duduk lalu membaca buku. Bahwa belajar berarti keceriaan dalam mengejar hal apa yang belum diketahui dengan cara yang menyenangkan dan menjadikan alam sekitar sebagai sumber belajar yang bisa juga ‘dibaca’ sebagai alternatif sumber pengetahuan.
Saat menulis ini saya dalam perjalanan boat menuju Tarakan, kembali ke Jakarta setelah beberapa hari berinteraksi dengan para sarjana peserta program SM3T. Senang sekali saya bisa bersilaturahmi dengan sesama guru, membuat saya semakin yakin bahwa apapun yang menjadi kendala, pendidikan Indonesia tetap bisa maju, karena ada sosok sosok yang bekerja dalam kesunyian. Dari mereka saya belajar bahwa profesi mengajar akan jadi mengasyikkan jika dilakukan dengan hati. Mengajar di daerah tertinggal, terdepan dan terluar bukan lah soal jika dilakukan dengan penuh dedikasi, persiapan cukup dan keyakinan bahwa dengan pendidikan lah negara dan bangsa ini bisa berubah.
Maju terus program SM3T !