Profesi guru dimasa sekarang seperti tercengkeram oleh perubahan-perubahan yang terjadi disekelilingnya. Selain masalah sertifikasi guru sebagai sebuah profesi, masalah lain yang timbul adalah masalah penggunan teknologi sebagai alat pembelajaran. Masalah yang terakhir bukan menjadi masalah untuk guru yang belum mau berubah, atau bagi guru yang masih mau mengajarkan siswanya seperti ia diajar oleh gurunya puluhan tahun lalu.
Siswa kita sekarang bukan individu yang sama seperti saat kita jadi siswa dahulu. Ada banyak teknologi dan media yang melingkupi mereka. Guru bukan lagi satu-satunya sumber pengetahuan dikelas, ia bersaing dengan banyak media dan teknologi yang sehari-hari ada disekeliling siswa. Ada DVD dan CD tentang pengetahuan, tayangan ilmu pengetahuan di televisi yang dikemas dengan menarik, orang-orang di sekeliling siswa yang mampu menghadirkan pengetahuan dengan kasih sayang, yang terakhir internet, alat yang selalu melayani keingintahuan siswa 24 jam dan 7 hari dalam seminggu. Lewat kemasan multimedianya (gambar, video, teks dan interaksi langsung) teknologi internet bisa menjadi saingan bagi guru yang tidak mau berubah.
Internet menjadi saingan bagi guru? Bukannya lebih baik guru menjadikan internet dan teknologi pada umumnya sebagai mitra dalam membelajarkan siswa. Namun sebenarnya dimana terletak permasalahan sehingga guru masih belum mau berubah saat bersentuhan dengan teknologi.
1. Guru khawatir tidak menjadi satu-satunya orang yang ‘pintar’ dikelas.
Menggunakan teknologi berarti membuat diri kita sebagai guru menjadi bukan satu-satunya orang yang paling pintar dikelas. Saat menggunakan teknologi siswa jadi ‘kelihatan’ lebih pintar maklum jika melihat pengertian digital natives dan digital immigrants’, mereka memang generasi yang hidup dengan teknologi.
Belajar dari siswa mengenai teknologi sebaiknya dilakukan oleh guru jika guru merasa tidak tahu dan kurang menguasai. Hal yang terjadi bukannya jatuh wibawa guru dimata siswa, namun guru semakin mengukuhkan pengertian pembelajar sepanjang hayat di mata siswa. Bukannya hal ini baik untuk menjadi contoh bagi siswa, ingat satu contoh lebih baik dibanding seribu nasihat.
2. Tidak merasakan adanya hubungan antara subyek yang diajarkannya dengan teknologi.
‘Saya mengajar penjaskes di sekolah, apa hubungannya dengan teknologi’ atau ‘pembelajaran teknologi, urusannya guru computer bukan urusan saya’ kalimat tadi memberikan gambaran bahwa guru masih memisahkan antara teknologi sebagai subyek pembelajaran dan teknologi sebagai alat. Biarkan teknologi menjadi alat yang membuat pembelajaran dikelas semakin menarik dan mengesankan. Jika guru penjaskes menggunakan teknologi, maka ia akan menghadirkan kisah perenang kelas dunia di kelas lewat tayangan DVD tentang perenang tersebut. Bisa juga guru itu menyuruh anak melakukan riset mengenai penemu permainan bola basket di internet. Hasilnya anak akan semakin senang hadir di pelajaran penjaskes, dan tidak susah lagi untuk diminta bergerak dengan penuh semangat saat pelajaran olah raga karena motivasi dari tayangan yang dilihatnya.
3. ‘Saya harus bisa menguasai teknologi dahulu baru kemudian mengajarkan dan menggunakannya bersama siswa.’
Sebuah perkataan yang mungkin benar tapi lebih banyak tidak benarnya. Apa yang terjadi jika guru harus bisa menguasai dahulu semua program dikomputer dan baru mengajarkan siswa, yang terjadi siswa keburu lulus lebih dahulu sebelum sempat diajarkan teknologi oleh sang guru. Guru hanya cukup mengetahui hasil pembelajaran dengan menggunakan teknologi, baru kemudian mencari tahu apa yang bisa teknologi lakukan untuk pembelajaran saya. Program presentasi misalnya, bisa diterapkan dalam semua tipe pembelajaran. Apakah guru harus canggih dahulu dalam menggunakannya? Tidak juga karena ada banyak pihak bisa membantu, guru TIK misalnya, atau bahkan siswa kita sendiri. Tentunya guru juga sedikit demi sedikit belajar dan mencari tahu sehingga guru bisa semakin menguasai
guru Teknopobia?, wah nggak banget deh, justru peran guru sebagai agent of change justru mengharuskan guru dekat dengan teknologi.
btw, Pak Agus, gimana sih cara masukin facebook di sidebar?thx
ya, saya melihat adanya alasan-alasan itu pada guru kita. artikelnya menarik, Pak. Salam.
3 alsan trsbt belum cukup untuk menghakimi para umar bakri.3 alasn trsbt lebih cocokya d alamatkan untuk guru yg ada d kota.sebuah hal yg konyol seorg guru bleh d kata ‘tehnophopia’ kmdian dpt mengunakan pengetahuannya d tenga ktrbtsan fasilitas pndukung lainya seperti tdak tersdia tenaga listrknya,siknal saja tdk ada!ataupun fsilits lainya.3 alsan trsbt yg d kemk2n mgkin lbih suitablenya untuk mereka yg ada d daerah tertentu yg complete dgn faslts yg ada d dlm sekola maupun dr luarya yg mendukung.
permisi comment buat bapak desman letunggamu kalau soal fasilitas sih menurut saya poin utamanya adalah soal kretifitas guru, untuk memaksimalkan perangkat yang ada… minimal merubah mindset yang anti teknologi… dulu dosen saya juga gitu, tugas harus di ketik manual pakai mesin tik… alasannya biar orisinil, padahal gak ketahuan juga orisinil atau tidak… dan beliau kekeuh banget.. kasihan melihat pola pikirnya
pak agus bagaimana cara membuat blog di internet, trimakasih selamat berkreatif
tulisan anda sangat menarik, saya yakin ini bisa menjadikan motivasi bagi para guru. bolehkan saya cetak dimedia saya, sebagai motivasi para pembaca yang kesemuanya para guru di kabupaten batang
Takut atao malas ?
mungkin itu pertanyaan pertama buat kebanyakan guru yang disuruh belajar IT.
Di sekolah saya terdapat 65 guru dan 15 staf TU dan 1103 siswa. yang keseharian berhadapan dgn komputer cuma 5 orang, dua orang operator TU dan 3 guru TIK. alhasil semua kebutuhan yang menyangkut pengguaan komputer di tangani ke 5 orang ini (salah satunya saya). yah lompatan penggunaan media dari mesin tik ke komputer mungkin mengejutkan sekali. Namun ada yang perlu digaris bawahi satu hal, saat ini masih banyak sekolah2 yang belum memiliki komputer layak buat belajar siswa2nya, apalagi kalo tambah belajar buat guru2nya, komputer sekelas P2 21 unit mesti dipakai -/+ 12 jam sehari / 6 hari per minggu. Nunggu bantuan komputer dari pemerintah masih nunggu2 mimpi jadi kenyataan!!!! gimana tuh ????
Wah, satu alasan lagi pak, takut dituduh merusak. Kalau disuruh ganti kan payah pak. Fasilitas komputernya ada tapi pola pikirnya belum berubah. Dengan alat peraga dan buku-buku pengetahuan yang lengkap saja guru-guru masih tidak menggunakannya (secara maksimal) dalam pembelajaran aktif. Merasa cukup dengan buku paket dan cuap-cuap di depan kelas. Situasi ini masih terjadi di wilayah kota di Ternate, jangan bicara yang di pedalaman Halmahera misalnya.
alasan nomor 3 paling banyak di sekolahku. karena bisapun tak kunjung datang dengan serta merta, akhirnya teknologi menjadi musuh guru. ironisnya ketika ada siswa yg kreatif, malah dimusuhi.. ngetes guru, katanya
terima kasih tips artikelnya sangat bewrmanfaat…smoga blog nya ramai terus…
saya suka sekali dengan kata2 “ingat” satu contoh lebih baik dari pada seribu nasihat..