

Mari bayangkan dua illustrasi berikut ini.
“Seorang siswa berumur belasan yang senang berolah raga sedang asyik bermain game kesukaan nya melalui video game. Permainan kesukaannya adalah sebuah permainan yang menyerupai sebuah kompetisi besar setingkat piala dunia. Dalam permainan itu ia bebas menentukan kesebelasan mana yang akan bertanding dan siapa pemain yang akan diturunkan untuk bertanding. Selama permainan berlangsung terjadi pertandingan yang seru dan kedua kesebelasan bertanding dengan mempraktekan prinsip fair play, sebuah prinsip yang dijunjung tinggi dalam dunia olahraga sepak bola. Termasuk didalamnya adalah menghormati apapun keputusan wasit.”
Sementara itu ditempat lain (didunia nyata) sebuah stadion tempat dimana pertandingan sepak bola yang sedang berlangsung;
“Pertandingan tiba-tiba berhenti oleh peluit wasit yang langsung menunjuk titik pinalti ketika seoran g pemain yang sedang melakukan serangan diganjal dengan keras oleh pemain lawannya. Stadion langsung bergemuruh dan semua supporter kesebelasan yang terkena hukuman pinalti berteriak marah dan terjadilah protes para pemain dan dilanjutkan dengan penganiayaan terhadap wasit.”
Kedua illustrasi diatas menunjukkan betapa berbedanya sikap yang ditunjukkan individu dalam situasi dunia maya (online) dengan apa yang dilakukan individu dalam dunia kenyataan atau sebenarnya (offline). Untuk menyelaraskan kedua dunia yang berbeda diatas diperlukan penerapan Digital Citizenship (konsep menjadi warga dunia digital). Sebuah peran yang dilakukan oleh individu yang sering berada dalam dua situasi, situasi dalam komunitas fisik (offline) dan komunitas maya (online). Digital citizenship bisa juga didefinisikan sebagai norma-norma perilaku yang berkaitan dengan penggunaan teknologi di dunia digital.
Banyak pihak yang masih beranggapan bahwa kedua komunitas tesebut saling berbeda satu sama lain dan jauh dari kemungkinan untuk diselaraskan. Padahal banyak masalah di dunia fisik berawal dari dunia digital dan sebaliknya banyak pemecahan masalah di dunia fisik bisa dibantu dan difasilitasi oleh dunia digital.
Dengan demikian dari illustrasi penggemar video games diatas dapat disimpulkan adanya rantai yang terputus dan tak terhubung satu sama lain. Jika saja penggemar video games sepak bola di dunia digital juga menerapkan sikap yang sama saat menjadi supporter atau pemain didunia nyata maka banyak keuntungan yang bisa diraih.
Teknologivideo games hanya satu contoh saja dari banyak macam teknologi telah banyak menyentuh aspek kehidupan kita di masyarakat, dunia pekerjaan dan dirumah. Banyak individu yang telah mulai menggunakan teknologi dalam keseharian baik untuk keperluan pekerjaan maupun kebutuhan pribadi. Namu banyak sekolah yang mesih tertinggal dalam mengajarkan siswa mengenai teknologi dan media digital serta mengintegrasikannya dikelas. Padahal saat yang sama siswa dituntut untuk mampu memaksimalkan teknologi digital dikarenakan tantangan abad 21.
Saat bersentuhan dengan dunia digital, yang sekolah lakukan adalah membatasi, merazia, menutup akses kepada situs-situs yang dianggap berbahaya. Namun lupa untuk mengajarkan bagaimana memaksimalkan teknologi, serta lupa untuk mengembangkan keterampilan siswa menggunakan teknologi digital.
Seperti biasa menruti nalurinya, siswa akan mencari cara sendiri dalam mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mengenai dunia digital. Ini berarti mereka akan sendirian saat memilih kegunaan yang positif dari teknologi. Sudah menjadi sifat dari generasi siswa-siswi kita untuk akrab dengan dunia digital dikarenakan sifat mereka sebagai penduduk asli di dunia maya (digital natives).
Idealnya guru mengambil bagian saat siswa melakukan proses pembelajaran mereka menggunakan teknologi digital agar tidak terjadi kesenjangan antara situasi dikelas dengan situasi diluar kelas.
Digital citizenship sendiri bisa dibagi menjadi 9 area yaitu etika, komunikasi , pendidikan, akses, perdagangan, tanggung jawab, hak cipta, keselamatan dan keamanan (perlindungan terhadap diri sendiri).
9 area yang menjadi cakupan dalam digital citizheship diatas apabila bersentuhan dengan dunia pendidikan dan pembelajaran menjadi 4 hal sebagai berikut;
1. Literacy (keterampilan)
2. Safety (keamanan)
3. Learning strategies ( strategi pembelajaran)
4. Etiquette (etiket)
4 elemen diatas mendapat perhatian sama rata karena semuanya mempunya peranan yang sama pentingnya agar siswa bisa menjadi warga dunia digital yang baik. Kita semua menginginkan siswa kita bisa percaya diri saat harus bergabung dengan komunitas dunia, mampu mencari jalannya sendiri dengan cara pandai memilah-milah informasi yang ada disekitar mereka melalui analisa, riset dan alas an yang mendalam .
Tidak bisa tidak sekolah juga harus menegakkan kerangka digital citizenship ini sebelum perkembangan dunia digital menjadi lebih kompleks dari saat ini. Ini saatnya juga orang dewasa yang ada dekat dengan kehidupan siswa (guru, orang tua serta anggota keluarga lain) mengevaluasi kembali cara mereka menggunakan teknologi sebagai cara mudah bagi siswa kita mendapatkan model pegangan (role model) yang baik dalam menggunakan teknologi.
Sikap berpikiran terbuka dari guru yang menjadi garda depan pembelajaran dikelas juga dibutuhkan untuk menerapkan digital citizenship. Dikarenakan digital citizenship bukan sekedar sebuah kecakapan (literacy) tetapi juga cara hidup secara aman, beradab dan menggunakan teknologi secara efektif .
luar biasa postingan ini, sebagai seorang gamer rasanya saya juga perlu meresapi makna dibalik keindahan teknologi
Bagus ………… Thank’s ya