Wahai para guru, mari mengubah cara bukan isi

Akan tiba saatnya sekolah tidak lagi terkungkung pada empat tembok yang membatasi. Tapi akan meluas dan melewati batas yang ada sekarang. Banyak sekali tipe kurikulum yang sudah dirancang dan diluncurkan namun sedikit banyak siswa-siswi kita sekarang bukan lah menjadi pengguna atau sasaran yang tepat dari kurikulum-kurikulum tersebut.

Siswa dan siswi kita sekarang tumbuh dalam dunia pertumbuhan dunia digital yang sangat cepat. Ada yang mengatakan perbandingannya 1:7 artinya satu tahun didunia nyata sama dengan 7 tahun di dunia digital. Sebuah percepatan yang luar biasa. Apa mau dikata siswa dan siswi kita berpikir dan berbicara dalam bahasa yang berbeda dengan kita. Mereka adalah pemilik dan penduduk asli dunia digital.

Digital Natives.

Siapakah mereka? Mereka adalah individu yang lahir antara tahun 1990 sampai 2000 keatas.  Menurut Marc Prensky mereka adalah yang menghabiskan hidupnya dengan berbicara dan mengirim pesan lewat  telepon genggam, mendengarkan musik menggunakan pemutar music digital. Bermain video games atau mengobrol lewat internet sampai berjam-jam. Singkat kata hidup mereka dikelilingi oleh alat-alat digital (gadget)

Jika anda mengajar mereka jangan bayangkan suasana kelas yang tenang dan senyap, yang terjadi terkadang mereka terdengar gaduh dikarenakan biasa berkolaborasi satu sama lain, serta melakukan segalanya saat bersamaan (multitasking).

Digital Immigrants

Mereka adalah individu yang lahir antara tahun 1960 sampa 1980 . Analogi gambar sebuah kamera digital akan menjelaskan fenomena tipe penduduk ini di dunia digital. Digital Immigrants akan mengatakan bahwa kamera digital adalah kamera digital, karena pernah mengenal kamera yang belum menjadi digital, ingat kamera yang menggunakan roll film yang kemudian dicetak dan memakan waktu untuk melihat karena harus menunggu beberapa lama. Sementara kaum digital natives akan mengatakan kamera digital adalah kamera tanpa embel-embel digital, dikarenakan saat mereka lahir yang ada hanyalah kamera jenis tersebut.

Terkadang perbedaan jurang antara dua generasi ini kerap menimbulkan masalah, padahal siswa-siswi kita yang nota bene adalah digital natives akan senang sekali jika kita (digital immigrants alias guru dan orang dewasa yang ada di sekitar mereka) menunjukkan minat pada hal-hal yang berbau digital dan bisa menjadi pegangan dan tempat mereka bercerita dan berbagi mengenai pengalaman mereka sehari-hari di dunia digital.

Sebab apakah kita tidak merasa iba jika mereka yang harus belajar dengan gaya ‘lama’ (tanpa teknologi) ingat metode chalk and talk sementara tantangan buat mereka di masa depan akan jauh lebih berat dari yang kita hadapi sekarang. Ingat pendidikan adalah membekali siswa kita ke masa depan dengan cara yang juga ‘baru’ tentu. contoh nyata yang mungkin bisa kita lihat sekarang adalah banyak nya bidang pekerjaan yang kemudian hilang tapi juga kemudian banyak muncul ragam profesi yang dahulu bahkan belum pernah ada.

Banyak cara menuju keseimbangan antara dua generasi ini, dan bukannya tidak mungkin harmonisasi ini akan melahirkan generasi yang cakap teknologi sekaligus mempunyai kemampuan beretika yang matang dan dibutuhkan dalam kehidupan sebenarnya dimasa depan. Berikut ini adalah beberapa cara yang bisa anda tempuh;

  1. Saat membelajarkan siswa gunakan keingin tahuan mereka atas sebuah pengetahuan yang baru sebagai arah dalam pembelajaran. Kemudian lakukan pembuatan perencanaan pembelajaran yang memfasilitasi keingin tahuan tersebut, tentunya dalam batas kurikulum yang menjadi acuan anda.
  2. Buatlah proyek pembelajaran dimana setiap siswa bisa memberikan pendapat, pandangan bahkan masukan atas karya milik rekannya . Dengan demikian anda melatih mereka untuk berkolaborasi. Sebuah hal yang sangat penting yang dibutuhkan di abad 21.
  3. Terapkan prinsip inovasi, kolaborasi, keberagaman, keterampilan dan kesadaran sebagai warga global saat menggunakan teknologi dalam memperkaya pembelajaran. Dijamin siswa akan senag melakukan beberapa peran sekaligus saat yang sama yaitu; sebagai pengarang atau pencipta produk pembelajaran mereka, menjadi mentor saat memberi masukan kepada rekannya, yang terakhir menjadi ahli dalam menjelaskan produk pembelajaran  yang dihasilkannya.
  4. Silahkan memilih ‘alat’ atau tools untuk anda gunakan bersama siswa anda dikelas ada wiki, blog, youtube dan lain-lain

Jadi, mari tinggalkan cara lama agar siswa bisa terinspirasi dan merasa terikat dengan kelas pembelajaran yang kita lakukan. Beberapa hal yang kita bisa lakukan adalah; mencermati keberagaman siswa siswi anda dalam segala hal. Mencari terus dan berinovasi dalam ilmu pedagogi yang cocok untuk pembelajaran bagi digital natives. Memilih tipe pengujian (assessment) mana yang cocok untuk siswa-siswi kita di jaman ini. Menyiapkan  kurikulum anda disekolah, apakah sudah menyiapkan siswa untuk menghadapi abad 21 yang bertumpu pada subyek inti yang ada sekarang, keterampilan berpikir dan belajar bagaimana belajar, keterampilan teknologi dan keterampilan hidup.

Dengan demikian wahai para guru, mari mengubah cara bukan isi.

Penulis: agusampurno

Mitra menuju sekolah efektif dan guru profesional

15 tanggapan untuk “Wahai para guru, mari mengubah cara bukan isi”

  1. Ada sebuah cerita, intinya begini: pagi² anak² sblm sekolah sudah pada “googling” materi yang akan diajarkan di sekolah (sesuai silabi), trus sampai di sekolah seorang siswa menanyakan tentang hal tersebut ke guru. Karena gurunya “gaptek”, maka dijawablah sekenanya, hasilnya apa? ya diketawain murid sekelas … (lha wong jawabannya ngawur tur salah !!!).
    Inilah perlunya perubahan² yang signifikan pada diri guru itu sendiri, memang “dunia membenci perubahan”, tapi “itu satu²nya jalan untuk menuju kemajuan (kalau tidak mau terseret jaman, ya kan?)”.
    Guru biasanya bilang begini “wis aku mulang ngene iki dari tahun ke tahun gajiku yo mundhak terus kog, dadi ngopo maneh repot-repot” … Nah loh !!!!
    OK, Om (iki) Agus Agus … talking² with David Beckam … he2. Sukses selalu, amien.

  2. Pak Guru yang kreatif, semoga banyak guru di Indonesia yang membaca postingan yang memberikan pencerahan ini. Saya prihatin, banyak teman2 guru di sekolah “kota” yang masih gaptek, kalah pinter dengan para muridnya di bidang komputer/IT. Saya kira, peran kepsek sngt dibutuhkan untuk hal ini. Berapa banyak sekolah yang punya kompt tp hanya sekedar pengganti mesin ketik?
    Mhn ijin untuk link blog ini. Isinya menarik, sih. Tq.

  3. Jadilah Guru pembelajar
    jangan jadi Guru yang justru menghancurkan masa depan anak. kuasa tehnologi. tapi ingat pendidikan moral yang diintegrasikan dalam semua mata pelajaran merupakan suatu kewajiban sehingga materi tidak kering kerontang. tanamkan akhlak budi pekerti yang mulia. ditangan gurulah peradaban masa depan negeri ini.

  4. Salam kenal pak Agus…. saya seorang guru yang saat ini menghadapi situasi yang sama seperti yang ditulis pada artikel ini. Sungguh teknologi digital sekarang ini telah mengubah pola kehidupan anak-anak kita dengan percepatan yang luar biasa. Pada kenyataannya saat ini pengetahuan IT guru masih tertinggal jauh dibandingkan anak-anak. Akibatnya terjadi kesenjangan antara siswa dengan guru….. Sebenarnya tidak menyalahkan guru juga sih pak… karena anak-anak kita sudah dilengkapi fasilitas yang lengkap oleh orangtuanya. Sekarang… bagaimana kita memanfaatkan fasilitas sekolah dengan sebaik-baiknya.

    http://belajarmandiri.wordpress.com/

  5. Urun rembug mas guru kreatif, ke depan ada 2 pilihan bagi guru RI; ikut bermain atau dipermainkan di era global artinya ;
    1. jika kita (guru) tidak mau meng”up date” diri akan dipermainkan di kelas
    2. jika kita (guru) ingin ikut bermain di era global harus punya kempetensi dunia digital.
    Kutunggu pencerahan berikutnya…,salam didaktika… dari guru geger.

  6. Salam kenal. Saya guru yg ketinggalan jaman, baru belajar nge-blog

    Apa kabar Sulis, saya sudah berkunjung ke blog anda, isinya padat dan berisi. Terima kasih sudah mampir ya

  7. subhanallah…..saya setuju…..penguasaan IT bagai seorang pendidik bukan sekedar tuntutan tapi kebutuhan…mempunyai metode pembelajaran yang menarik ternyata masih kurang tanpa ditambah dengan sarana pendukung,,,namun yang kasih jadi kendala adalah masih banyak guru-guru terbaik negeri kita yang masih tinggal dilokasi yang jauh dari sarana IT …..namun mereke sebenarnya tidak perlu berkecil hati….masih ada bahan-bahan dari limbah yang bisa didaur ulang yang dapat dijadikan sarana peraga pendukung proses belajar…..bagaimana menurut anda???? (dari Dudi Maryadji . SMPIT Al-Fatih Tangerang)

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: