“Yang menjadi tantangan ke depan adalah peningkatan pengetahuan dan keterampilan guru untuk menggunakan alat elektronik tersebut sebagai media belajar dan mengajar.
Mas Agus,i yang mungkin bergaul dengan guru-guru di kota (baca di Jawa) mungkin akan terkejut dengan kesenjangan yang ada dengan guru-guru yang ada di luar Jawa.
Saya bertemu dengan guru-guru yang ketika dihadapkan dengan komputer masih gemetar, gemetar dalam arti literal, alias ndredeg beneran.
Ajakan Mas Agus untuk mengoptimalkan komputer patut disambut. (Ada tapinya… tapi ajari dulu gurunya….)”
Setiawan Agung Wibowo berkomentar pada tulisan mengenai komputer sebagai ‘alat’
Bagaimana perasaan anda saat pertama kali bersentuhan dengan komputer? Merasa menyentuh barang yang mahal, alat yang susah dipelajari atau alat yang bukannya membantu menyelesaikan masalah pekerjaan malah menambah pekerjaan?
Saya ingat sekali dijaman pemikiran seperti itu ada dikepala saya, diluaran banyak sekali menjamur kursus komputer dengan embel-embel dijamin bisa. Tetapi sekarang dengan mudah buku cara belajar komputer sudah banyak sekali dipasaran. Tinggal pilih sesuai minat, pasti tersedia dengan harga yang terjangkau.
Bagi banyak guru yang mengajar dikelas, belajar komputer sudah merupakan kebutuhan. Ini dikarenakan seperti juga pekerja profesional lainnya komputer bisa membantu pekerjaan sehari-hari yang bersifat administrasi sampai membentuk jaringan.
Namun tidak bisa dipungkiri juga banyak guru yang masih nyaman melakukan semua tugas kesehariannya disekolah tanpa teknologi. Walaupun sudah tersedia disekolah peralatan yang banyak dan canggih, namun terkadang masih ada keengganan untuk menggunakan dan mencoba-coba. Terkadang alasannnya bukan keengganan tapi tidak adanya patner yang bersedia meluangkan waktu untuk menemani belajar sambil memotivasi
Untuk itu apabila anda seorang guru atau pendidik yang sedang membaca tulisan ini. Saya asumsikan anda sudah lancar mengoperasikan komputer sampai bisa terhubung dengan internet, atau anda seorang yang rajin mencoba dan getol mencari pengetahuan baru. Sudilah kiranya mencari orang-orang disekitar anda yang mau dan minat belajar mengenai teknologi.
Ajaklah bicara dan sabarlah mendengar keluhannya mengenai teknologi, dan pelan-pelan besarkan semangatnya untuk mau mencoba dan membuat sesuatu dengan bantuan teknologi. Jangan lakukan sekali-sekali, luangkanlah waktu untuk mendampingi rekan anda mempelajari teknologi. Namun yang lebih baik bila permintaan itu datang dari rekan anda sendiri.
Dan yang terpenting, saat rekan anda sedang mencoba-coba untuk mengeksplorasi, jangan sentuh mouse nya. Biarkan rekan anda sibuk tekan sana dan tekan sini. Dijamin dengan cara diatas bisa membuat semangatnya untuk belajar teknologi bertambah dari hari ke hari.
Setuju Pak, ‘jangan menyentuh mouse’nya juga berlaku ketika saya mengajari murid. Kalo pun terpaksa, setelahnya saya minta dia mengulangi.
:D. Jadi ingat ketika mengajar siswa, ia terbengong di depan komputer. Dugaan saya dia takjub atau takut (terutama takut tersengat listrik). Padahal usianya sudah bukan anak2 lagi, karena dia lulusan SMA.
Ketika menggerakkan mouse, dia butuh ruang selebar ‘lapangan sepakbola’. Tapi saya cuekin aja, kalo sdh benar2 putus asa, barulah saya turun tangan.
salam kenal bp
Saya pernah melihat berita singkat di salah satu tv swasta yang meliput tentang produsen “hardware” yang membagi-bagikan komputer “second” ke sekolah-sekolah. Namun, hal ini dikomentari oleh pakar pendidikan yang mengatakan bahwa sebelum memiliki fasilitas yang canggih, sekolah harus membangun guru-guru yang “canggih” terlebih dahulu.
Pengertian “canggih” dalam hal ini adalah paradigma yang canggih. Banyak pihak sekolah yang cemburu ketika melihat sekolah tetangganya mendapatkan bantuan beberapa perangkat komputer. Tapi, setelah dilihat di lapangan sebagian komputer tersebut masih terbungkus rapi dan bersih. Sebagian dipakai untuk administrasi, dan tak satupun yang digunakan untuk proses pembelajaran. Ketika ditanyakan apakah siswanya pernah mencoba untuk menggunakannya, jawabannya cukup unik, “nanti, komputernya cepet rusak karena terus-terusan dipake’ anak-anak”.
Jelas, memang paradigma menentukan keterbatasan ini. Saya teringat ketika berkunjung ke daerah Kalimantan Timur, di atas sebuah Delta terbesar Mahakam, berdiri sebuah sekolah sangat sederhana, memiliki satu unit komputer yang diletakkan di ruang perpustakaan. Setiap pagi, sebut saja Aji namanya, anak Pak Zainudin (Kepala Sekolah SD Muara Pantuan) menyalakan genset untuk menyalakan komputer tersebut. Beberapa saat kemudian, datanglah satu, dua sampai lima guru mengantri untuk minta diajarkan bagaimana mengoperasikan komputer. Aji yang hampir lulus SMA tersebut secara sukarela membantu Ayahnya untuk mengajarkan IPTEK kepada guru-guru tersebut. Karena, memang tidak satu gurupun di sekolah tersebut yang paham komputer, kecuali Aji.
Jadi jelas, paradigma guru yang canggih akan mengubah segala “keterbatasan” menjadi terbukanya jalan menuju kreativitas. Kepala Sekolah juga berperan sangat penting layaknya Pak Zainudin yang terus memikirkan kemampuan gurunya. Salah satu strateginya adalah cari sisi positif dari segala keterbatasan tersebut, seperti Aji, seorang anak SMA yang “MAU” memberi manfaat bagi masyarakat.
Semoga Menginspirasi,
Markus Mardianto
saya berusaha membantu rekan-rekan yang berminat belajar IT, karena saya juga belajar dari rekan yang lebih mahir dalam IT…
thanks telah memotivasi kami…
Sama-sama bu Retna, ayo sebarkan terus virus perubahan.