Bayangkan situasi ini, hampir 100 orang lebih berada dalam sebuah ruangan yang sama dan dengan profesi yang berbeda-beda pula. Ada dosen, orang tua, pengamat pendidikan,guru dari berbagai tingkatan.Kesamaan mereka hanya satu, mereka peduli dengan isu pendidikan terkini dan yang paling mutakhir. Bicara hal yang paling mutakhir apalagi jika bukan mengenai teknologi. Utamanya teknologi digital karena jika disandingkan dengan isu pendidikan akan seperti pedang bermata dua. Ada sisi baik dan sisi buruknya juga.
Situasi demikian ditangkap dan difasilitasi dengan cepat oleh Sampoerna Foundation sebagai penyelenggara dengan mengadakan acara berbagi yang bertajuk “Digital Natives vs Digital Immigrants”. Bertempat di lantai 25 di gedung Sampoerna Strategic Square Jakarta , selama dua jam dalam acara berbagi yang difasilitasi oleh saya, semua hadirin yang datang mengungkapkan banyak keprihatinan dan kepedulian mereka terhadap penggunaan teknologi oleh kaum muda yang mungkin menjadi anak atau siswa mereka. Namun tidak berhenti disitu saja diakhir acara berbagi semua pihak setuju bahwa tidak mungkin mengehentikan laju perkembangan teknologi, yang bisa kita lakukan adalah beradaptasi dan terjun lengsung mengawasi dan melindungi anak-anak kita di dunia digital.
Berikut ini adalah jalannya acara berbagi “Digital Natives vs Digital Immigrants”. Acara berbagi dimulai dengan pengantar saya mengenai dunia teknologi saat ini. Hal ini saya lakukn auntuk member gambaran bahwa peserta bahwa suka atau tidak suka teknologi digital akan terus berkembang dan menjangkau semua lapisan. Bayangkan banyak tukang makanan keliling saat ini bisa dipesan lewat sms, bahkan saat inipun jasa ojek sepeda motor sudah ditwarkan lewat internet silahkan cek di http://ojekbintaro.blogspot.com. Contoh tadi adalah contoh yang baik, betapa sektor usaha yang marjinal pun sudah memanfaatkan kemajuan dunia digital tidak kalah dengan usaha yang bermodal besar dan raksasa.
Namun bagaimana dengan dunia pendidikan bila dihubungkan dengan kemajuan dunia digital? Saya memancing keingintahuan peserta dengan menunjukkan beberapa foto razia HP di sekolah-sekolah. Kebanyakan praktisi di sekolah dan orang tua menyikapi dengan pendekatan keamanan. Ini berarti dunia digital dicurigai sebagai pembawa malapetaka. Tentu anda akrab dengan istilah ‘razia HP’. Dalam razia HP polisi yang diundang oleh sekolah masuk kedalam kelas dan melakukan razia satu persatu terhadap semua siswa. Alih-alih mencari materi pornography pada HP milik siswa, yang dilakukan sekolah malah menjatuhkan wibawanya dikarenakan tidak mampu mengendalikan penggunaan serta materi yang ada di HP milik siswa, sampai harus mengundang polis masuk ke kelas.
Padahal tidak kurang banyak manfaat yang bisa diambil. Asal guru dan orang tua mau berubah teknologi dalam dunia pendidikan akan membawa berkah . Dikarenakan dengan menggunakan teknologi dalam pembelajaran kita sebagai orang tua dan pendidik seperti berbicara dengan bahasa mereka. Bahasa kaum penduduk asli dunia digital. Anak-anak serta siswa kita merekalah penduduk asli dunia digital. Mereka lahir saat teknologi digital sudah ada dan mereka hidup bersamanya. Bekerja dengan computer, berkomunikasi menggunakan HP, mencari teman lewat internet dan banyak lagi yang menunjukkan kefasihan mereka dalam menggunakan perangkat dunia digital.
Jika sebagai guru dan orang tua anda merasa sebaliknya, merasa anak serta siswa kita lebih pintar jangan khawatrir, karena hal tersebut bukan berarti sebagai hal yang memalukan. Pandanglah hal tersebut sebagai sebuah hal yang menantang karena mengharuskan kita untuk belajar kembali, terjun ke dalam dunia digital. Bukan untuk memata-matai tapi untuk melindungi mereka yang menjadi tanggung jawab kita anak dan siswa kita.
Hal yang tidak pernah kita ketahui sebagai guru dan orang tua adalah siswa serta anak-anak kita akan merasa bangga jika mereka tahu betapa kita juga terlibat dalam dunia digital. Jangan takut salah, ceburkan saja diri anda sedalam-dalamnya sambil menggunakan falsafah khas kaum digital natives, yaitu trial and error alias coba terus jangan takut salah.
Sekarang bagaimana dengan perbedaan orientasi serta kesukaan dalam dunia digital antara kaum digital natives dengan kaum digital immigrant? Singkatnya yang satu menyukai teks yang satu menyukai gambar serta video. Hal tersebut tidak bisa dihindari tapi marilah kita merubah mindset dulu bahwa kita sebagai guru atau pendidik yang harus berubah. Berubah untuk menyelaraskan pola pendidikan dan pengajaran dengan dunia kaum digital natives.
Sebuah hal yang merupakan keniscayaan karena bagaiamana pun canggihnya mereka mengunakan teknologi mereka masih membutuhkan kita untuk melindungi dan memberitahu mereka hal-hal yang mungkin berpotensi bagi mereka dimasa depan. Karena dunia nyata (off line) dan dunia online (maya) sama seriusnya.
Acara berbagi kali ini berjalan dengan baik sekali. HAdirin yang datang saling berbagi pengalaman dan kekhawatiran terhadap dunia digital. Namun saat presentasi kelompok semua orang lantas menjadi sadar bahwa semua pasti ada jalan keluar. Hal ini dikarenakan banyak sekali jalan keluar serta kemungkinan pencegahan yang dibagi oleh peserta lainnya.
Ucapan terima kasih untuk Markus Mardianto, Aditya Dharma, Zakky, Nisa Felicia, Wendy Armunando, Pak Kenneth Cock serta Obert sebagai moderator acara berbagi, semuanya kolega saya di Sampoerna Foundation yang telah membantu hingga acara berbagi ini terwujud.
Sampai jumpa pada acara Seminar dan Workshop Digital Immigrants vs Digital Natives di Sampoerna Foundation pada tanggal 19, 20 dan 21 Februari 2009.
Silahkan juga membaca tulisan Pak Wijaya Kusumah mengenai topik ini di situs
http://public.kompasiana.com/2009/01/26/wahai-orang-tua-perhatikan-anak-kita/#more-3288
Tulisan Ibu Enggar di blog enggar.net
http://enggar.net/2009/01/27/digital-natives-vs-digital-immigrants/
Tulisan Ibu Selly di blog Voice Within….
http://missell.blogspot.com/2009/01/digital-immigrants-vs-digital-natives.html
Dear Agus,
ESN jumat lalu bertepatan dengan workshop Adopt a Teacher di Bojonegoro yang difasilitasi oleh saya bertajuk “perubahan paradigma”. Ada sesi dimana saya memutar video “did you know” yang mengingatkan pada kita bahwa “shift happens”.
Maksud dari video ini adalah bagaimana kita mempersiapkan anak kita 20-30 tahun kedepan yang kita sendiri belum tahu perubahan apa lagi yang akan terjadi dan skill apa yang harus kita siapkan untuk mereka. Namun, ada juga peserta yang kontroversi mengatakan bahwa teknologi adalah produk “sekulerisme”.
Dua minggu lagi saya akan bertemu lagi dengan peserta workshopnya dan saya akan membawa refleksi Pak Agus mengenai ESN ini (plus blog tentang ojek dan kompasiana. Semoga hal ini akan merubah mindset mereka tentang perubahan yang selalu terjadi secara eksponensial.
Terima Kasih,
Sukses buat Pak Agus dan Keluarga.
Markus Mardianto
Sampoerna Foundation Teacher Institute
Terimakasih pak Agus, semoga ini menjadi pencerahan yang patut disimak dan ditindak lanjuti khususnya bagi pendidik dan orangtua.
Mengikuti ESN Jumat yang lalu sangat mengesankan. banyak informasi dan saudara baru yang saya dapatkan, walaupun kegiatan ini baru kali itu saya ikuti.
Thanks a lot pak Agus
Sebagai salah satu peserta pada ESN 23-1-09 lalu, ternyata sangat memotivasi saya untuk lebih aktif belajar IT, agar dapat mendampingi buah hati dan memahami siswa kami. Terima kasih telah berbagi …
sungguh sebuah kegiatan yang menggugah pak agus.
Makasih Pa, atas sharingnya, berarti ketakutan saya bisa dihadapi dengan positif juga.
Kalau razia HP bisa kita anggap terlalu ‘berlebihan’, di sekolah saya pasta penghapus (yang terkenal merk Tip-ex) juga dilarang pemakaiannya, takut disalahgunakan. ciri dari ‘PARNO’ atau apa yaa?
*Note: maaf Pa, link alamat blog saya di comment yang lalu salah, mungkin yang ini benar. Ada ulasan tentang seminar kemarin juga. Thx again.
Wah, sayang ngga bisa ikut kesitu ya Pak.. Selamat..selamat! Sukses selalu!
It ‘s ok Mas Gora,
Terima kasih supportnya